Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Masih
ingatkah sejak kapan Anda mulai mengenal istilah pendidikan kewarganegaraan
(PKn)? Bila pertanyaan ini diajukan kepada generasi yang berbeda maka
jawabannya akan sangat beragam. Mungkin ada yang tidak mengenal istilah PKn
terutama generasi yang mendapat mata pelajaran dalam Kurikulum 1975. Mengapa demikian?
Karena pada kurikulum 1975 pendidikan kewarganegaraan dimunculkan dengan nama
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila disingkat PMP. Demikian pula bagi
generasi tahun 1960 awal, istilah pendidikan kewarganegaraan lebih dikenal
Civics. Adapun sekarang ini, berdasar Kurikulum 2013, pendidikan
kewarganegaraan jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan nama mata
pelajaran PPKn. Perguruan tinggi menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Buku
pelajaran dapat menunjang pendidikan kewarganegaraan suatu negara, mengapa?
Untuk
memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pengkajian dapat dilakukan
secara historis, sosiologis, dan politis. Secara historis, pendidikan
kewarganegaraan dalam arti substansi telah dimulai jauh sebelum Indonesia
diproklamasikan sebagai negara merdeka.
PKn
pada saat permulaan atau awal kemerdekaan lebih banyak dilakukan pada tataran
sosial kultural dan dilakukan oleh para pemimpin negarabangsa. Dalam pidato-pidatonya,
para pemimpin mengajak seluruh rakyat untuk mencintai tanah air dan bangsa
Indonesia. Seluruh pemimpin bangsa membakar semangat rakyat untuk mengusir
penjajah yang hendak kembali menguasai dan menduduki Indonesia yang telah
dinyatakan merdeka. Pidato-pidato dan ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para
pejuang, serta kyai-kyai di pondok pesantren yang mengajak umat berjuang
mempertahankan tanah air merupakan PKn dalam dimensi sosial kultural. Inilah
sumber PKn dari aspek sosiologis. PKn dalam dimensi sosiologis sangat
diperlukan oleh masyarakat dan akhirnya negara-bangsa untuk menjaga,
memelihara, dan mempertahankan eksistensi negara-bangsa.
Upaya
pendidikan kewarganegaraan pasca kemerdekaan tahun 1945 belum dilaksanakan di
sekolah-sekolah hingga terbitnya buku Civics pertama di Indonesia yang berjudul
Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia (Civics) yang disusun bersama oleh Mr.
Soepardo, Mr. M. Hoetaoeroek, Soeroyo Warsid, Soemardjo, Chalid Rasjidi,
Soekarno, dan Mr. J.C.T. Simorangkir. Pada cetakan kedua, Menteri Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan, Prijono (1960), dalam sambutannya menyatakan bahwa
setelah keluarnya dekrit Presiden kembali kepada UUD 1945 sudah sewajarnya
dilakukan pembaharuan pendidikan nasional. Tim Penulis diberi tugas membuat
buku pedoman mengenai kewajiban-kewajiban dan hakhak warga negara Indonesia dan
sebab-sebab sejarah serta tujuan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Prijono, buku Manusia dan Masjarakat Baru Indonesia identik dengan
istilah “Staatsburgerkunde” (Jerman), “Civics” (Inggris), atau
“Kewarganegaraan” (Indonesia).
Secara
politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah
dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957 sebagaimana dapat
diidentifikasi dari pernyataan Somantri (1972) bahwa pada masa Orde Lama mulai
dikenal istilah: (1) Kewarganegaraan (1957); (2) Civics (1962); dan (3)
Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Pada masa awal Orde Lama sekitar tahun
1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan kehilangan
kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak membahas tentang
sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, pidato-pidato politik kenegaraan yang
terutama diarahkan untuk "nation and character building” bangsa Indonesia.
Bagaimana
sumber politis PKn pada saat Indonesia memasuki era baru, yang disebut Orde
Baru?
Pada awal pemerintahan Orde Baru, Kurikulum
sekolah yang berlaku dinamakan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum tersebut di
dalamnya tercantum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara. Dalam mata
pelajaran tersebut materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif dihilangkan
dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokkan
menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila.
Dalam
Kurikulum 1968 untuk jenjang SMA, mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara
termasuk dalam kelompok pembina Jiwa Pancasila bersama Pendidikan Agama, bahasa
Indonesia dan Pendidikan Olah Raga. Mata pelajaran Kewargaan Negara di SMA berintikan:
(1) Pancasila dan UUD 1945; (2) Ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya;
dan (3) Pengetahuan umum tentang PBB.
Dalam
Kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan korelasi, artinya mata
pelajaran PKn dikorelasikan dengan mata pelajaran lain, seperti Sejarah
Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, Hak Asasi Manusia, dan Ekonomi, sehingga mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara menjadi lebih hidup, menantang, dan
bermakna.
Kurikulum
Sekolah tahun l968 akhirnya mengalami perubahan menjadi Kurikulum Sekolah Tahun
1975. Nama mata pelajaran pun berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila dengan
kajian materi secara khusus yakni menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan
dari mata pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut
Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri dengan nama Pendidikan Moral Pancasila
(PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi menjadi
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (lPS).
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, mata pelajaran PMP ditujukan untuk membentuk
manusia Pancasilais. Tujuan ini bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran PMP
semata. Sesuai dengan Ketetapan MPR, Pemerintah telah menyatakan bahwa P4
bertujuan membentuk Manusia Indonesia Pancasilais. Pada saat itu, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah mengeluarkan Penjelasan Ringkas
tentang Pendidikan Moral Pancasila (Depdikbud, 1982) yang dapat disimpulkan
bahwa: (l) P4 merupakan sumber dan tempat berpijak, baik isi maupun cara
evaluasi mata pelajaran PMP melalui pembakuan kurikulum 1975; (2) melalui Buku
Paket PMP untuk semua jenjang pendidikan di sekolah maka Buku Pedoman
Pendidikan Kewargaan Negara yang berjudul Manusia dan Masyarakat Baru lndonesia
(Civics) dinyatakan tidak berlaku lagi; dan (3) bahwa P4 tidak hanya
diberlakukan untuk sekolah-sekolah tetapi juga untuk masyarakat pada umumnya
melalui berbagai penataran P4.
Sesuai
dengan perkembangan iptek dan tuntutan serta kebutuhan masyarakat, kurikulum
sekolah mengalami perubahan menjadi Kurikulum 1994. Selanjutnya nama mata
pelajaran PMP pun mengalami perubahan menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn) yang terutama didasarkan pada ketentuan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pada ayat 2 undangundang tersebut dikemukakan bahwa isi kurikulum
setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat: (1) Pendidikan
Pancasila; (2) Pendidikan Agama; dan (3) Pendidikan Kewarganegaraan.
Pasca
Orde Baru sampai saat ini, nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari
dokumen mata pelajaran PKn (2006) menjadi mata pelajaran PPKn (2013).
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, bahwa secara historis, PKn di Indonesia senantiasa
mengalami perubahan baik istilah maupun substansi sesuai dengan perkembangan
peraturan perundangan, iptek, perubahan masyarakat, dan tantangan global.
Secara sosiologis, PKn Indonesia sudah sewajarnya mengalami perubahan mengikuti
perubahan yang terjadi di masyarakat. Secara politis, PKn Indonesia akan terus
mengalami perubahan sejalan dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan, terutama perubahan konstitusi.
sumber :
http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/9.-PENDIDIKAN-KEWARGANEGARAAN-1.1.pdf
http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/12/9.-PENDIDIKAN-KEWARGANEGARAAN-1.1.pdf
thank you
BalasHapus