KEBUDAYAAN SUKU DAYAK
(Makalah Ilmu Sosial Dasar)




Kelompok 3 :
Aditya Nugroho (30417174)
Akmal Fuadi (30417411)
Geraldy Jeremi (37417127)
Muhammad Syah Fadzri (34417251)
Olga Qamariah (34417662)
Reviana Siti Mardiah (35417082)
Yohanes Rama Surya Wakita (36417292)
Kelas : 1ID05

Jurusan Teknik Industri
Fakultas Teknologi Industri
Universitas Gunadarma
Depok
2017/2018

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU DAYAK” ini tepat waktu.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai berbagai informasi mengenai kebudayaan suku Dayak.  Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat  untuk  kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami  harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami  sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini.


Depok, Maret  2018
                                                                                             Penyusun 



DAFTAR ISI

Hlm
KATA PENGANTAR.......................................................................................... II
DAFTAR ISI........................................................................................................ III
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 5
1.1  Latar Belakang.......................................................................................... 5
1.2  Rumusan Masalah..................................................................................... 5
1.3  Tujuan Penulisan....................................................................................... 6
1.4  Manfaat Penulisan..................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI............................................................................. 7
2.1 Suku Dayak................................................................................................ 7
2.2 Asal Usul.................................................................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN................................................................................... 10
3.1 Sistem Perlengkapan dan Peralatan............................................................ 10
3.2 Sistem Mata Pencarian Hidup.................................................................... 14
3.3 Cara Masyarakat Dayak Memanfaatkan Makanan..................................... 15
3.4 Sistem Kemasyarakatan.............................................................................. 16
3.4.1 Sistem Kekerabatan Suku Dayak....................................................... 16
3.4.2 Bentuk Kehidupan Berkeluarga......................................................... 16
3.4.3 Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat... 16
3.4.4 Perkawinan Yang Dilarang................................................................. 16
3.4.5 Pola Kehidupan Setelah Menikah....................................................... 17
3.5 Adat Istiadat.............................................................................................. 17
3.6 Bahasa........................................................................................................ 19
3.7 Kesenian..................................................................................................... 21
3.7.1 Seni Tari.............................................................................................. 22
3.7.2 Seni Musik.......................................................................................... 25
3.7.3 Alat music........................................................................................... 27
3.7.4 Seni Drama......................................................................................... 28
3.7.5 Seni Rupa............................................................................................ 28
3.8 Sistem Pengetahuan.................................................................................... 29
3.9 Sistem Religi............................................................................................... 30
3.10 Rumah Adat............................................................................................. 31
3.11 Busana Tradisional................................................................................... 34
3.11.1 Busana tradisional Adat Dayak........................................................ 34
3.11.2 Busana Suku Dayak Kenyah............................................................ 35
3.11.3 Busana Suku Dayak Ngaju............................................................... 35
3.11.4 Busana Suku Kutai........................................................................... 36
3.11.5 Busana Bulang Kuurung dan Bulang Burai King............................ 36
BAB IV PENUTUP............................................................................................. 37
4.1  Kesimpulan................................................................................................ 37
4.2  Saran.......................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 38


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Indonesia  adalah  Negara  dengan keragaman budaya dan suku bangsa. Dayak merupakan salah satu dari ribuan suku yang terdapat di Indonesia. Dayak ini dikenal sebagai salah satu suku asli di Kalimantan. Mereka merupakan salah satu penduduk mayoritas di provinsi tersebut. Kata Dayak dalam bahasa local Kalimantan berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di hulu sungai-sungai besar.
Agak berbeda dengan  kebudayaan Indonesia lainnya yang  pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman Kalimantan.Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu  jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap sub suku memiliki budaya unik dan memberi ciri khusus pada setiap komunitasnya.
Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang terkait  lebih  dengan mengambil judul "Kebudayaan Suku Dayak".

1.2     Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Siapa sebenarnya suku dayak itu?
2.      Bagaimana asal usul suku dayak?
3.      Bagaimana sistem peralatan dan perlengkapan hidup suku dayak?
4.      Bagaimana sistem mata pencarian hidup suku dayak?
5.      Bagaimana cara masyarakat dayak memanfaatkan makanan?
6.      Bagaimana sistem kemasyarakatan suku dayak?
7.      Apa saja adat istiadat yang terdapat di suku dayak?
8.      Apa bahasa yang digunakan oleh suku dayak?
9.      Kesenian apa saja yang terdapat di suku dayak?
10.  Bagaimana sistem pengetahuan suku dayak?
11.  Bagaimana sistem religi masyarakat suku dayak?
12.  Seperti apa rumah adat suku dayak?
13.  Seperti apa busana tradisional masyarakat suku dayak?

1.3     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui tentang :
1.      Sekilas informasi mengenai suku dayak
2.      Asal usul suku dayak
3.      Sistem peralatan dan perlengkapan suku dayak
4.      Sistem mata pencarian hidup suku dayak
5.      Cara masyarakat suku dayak dalam memanfaatkan makanan
6.      Sistem kemasyarakatan suku dayak
7.      Adat istiadat suku dayak
8.      Bahasa yang digunakan masyarakat suku dayak
9.      Kesenian suku dayak
10.  Sistem pengetahuan suku dayak
11.  Sistem religi suku dayak
12.  Rumah adat suku dayak
13.  Busana tradisional suku dayak

1.4     Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan bagi pembaca tentang kebudayaan suku dayak.


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia bahwa suku bangsa yang terdapat di Kalimantan terbagi menjadi tiga suku yaitu suku Banjar, suku Dayak dan suku non Dayak dan non Banjar. Dahulunya budaya masyarakat Dayak adalah budaya maritime atau bahari, dan hampir semua nama sebutan bagi orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perhuluan atau sungai, khususnya nama-nama rumpun dan nama kekeluargaanya.
Pada golongan Dayak terdapat enam rumpun yaitu rumpun Klemantan (Kalimantan), rumpun Iban, rumpun Apokayan atau dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Ot Danum-Ngaju, rumpun Murut, dan rumpun Punan. Tetapi pada hakekatnya rumpun-rumpun tersebut masing-masing memiliki kekerabatan di luar pulau Kalimantan.

2.2 Asal-usul suku dayak
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.



BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sistem Perlengkapan dan Peralatan
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut:
(1) pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan pertanda burung;
(2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang;
(3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak;
(4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan;
(5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan pencangkokan padi);
(6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);
(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas;
(8) mengadakan panen tanaman padi; dan
(9) mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah:
(1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan);
(2) membangunan pondok di ladang;
(3) memproses padi;
(4) menanam tanaman yang bukan padi.
Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain ialah Pisau, Kapak. Baliong, Tugal, Pangatam, Pide, Inge, Atokng, Nyiro, Pisok karet, Tombak dan lain-lain.
Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak antara lain Periuk atau Sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, Kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, Panci dari bahan logam, Ketel atau Ceret dari bahan logam, dan Tungku batu. Jenis alat tidur antara lain Tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, Kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, Bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain, Klambu, Katil dan Pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.


3.2 Sistem Mata Pencarian Hidup
Mata pencaharian masyarkat Suku Dayak selalu ada hubunganya dengan hutan. Mata penca harian masyarkat dipengaruhi oleh faktor geografis yang berkaitan dengan tempat tinggal, latar belakang pengetahuan (pendidikan), sosiall dan kepercayaan. Secara umum, mata pencaharian masyarakat suku Dayak adalah bertani, berburu, berkebun, dan bekerja dipemerintahan dan swasta. Sebagian besar aktivitas masyarakat dilakukan di dalam hutan seperti bertani, berburu, meramu, bercocok tanam, perikanan, perternakan dan sebagainya. Oleh sebab itu keberadaan hutan sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup orang Dayak.
1.      Bertani
Pada jaman dulu, sejak sebelum mengenal adanya pendidikan formal, kebanyakan masyarakat Dayak memiliki mata pencaharian sebagai petani yang menggarap lahan yang ada di sektar tempat tinggal mereka. Kondisi tanah dikalimantan memiliki lapisan humus tipis dan berjenis tanah gambut, membuat lahan suku Dayak mudah sekali kehilangan kesuburan. Cara meningkatkan kesuburan adalah dengan membakar lahan dan membuka lahan baru. Semenjak mengerti cara pertanian modern, system ladang berpindah dan juga membakar hutan ini sudah mulai ditinggalkan, tidak sedikit suku Dayak yang merubah pola pertanian mereka dengan pertanian modern lebih cenderung sawit dan karet.
2.      Berburu
Suku Dayak biasanya berburu dihutan dan mencari ikan disungai. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan setelah masa tanam, yakni saat menunggu panen dari kebun mereka. Hewan yang sering menjadi tangkapan mereka dan menjadi makanan sehari-hari adalah babi hutan, rusa, buruung, tupai, kijang, pelanduk, dan hewan-hewan yang bias ditangkap lainya. Masuknya pendidikan formal dikalangan suku dayak , banyak dari mereka yang meninggalkan pola berburu menjadi pola berternak, umunyua ternak mereka adalah babi karena sangat mudah mencari makananya. Selain itu juga ada ayam yang diternak secara bebas dan kandang saat sore tiba.

3.      Pegawai
Banyak putra/putri suku Dayak yang berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat yang paling tinggi sehingga merubah pola mata pencaharian suku Dayak. Banyakk dari generasi baru suku Dayak yang kemudian menjadi pegawai negeri, karyawan diperusahaam swasta atau BUMN bahkan menjadi pejabat di pemerintahan. Selain itu banyak juga yang kembali ke tanah kelahiranya untuk menjadi guru, kepala desa, bidan atau tenaga medis lainnya. Mereka membagi ilmu dari bangku sekolah dan menularkanya pada saudara-saudaranya yang berada dipedalaman.

3.3 Cara Masyarakat Dayak Memanfaatkan Makanan
Masyarakat dayak memiliki ide atau cara unik memanfaatkan makan atau cara untuk menfaatkan hasil berburu mereka yang berbeda dengan suku lainnya.
Cara yang mereka pakai,yaitu :
1.      Pengawetan Makanan.
            Alasannya agar makanan yang ada biar bisa bertahan lama karena masyarakat dayak hanya memakai cara-cara alami tidak ada pengawetan makanan seperti zaman modern ini. Contonya kulkas, formalin, atau lapisan lilin yang tipis. Cara pengawetan  makanan pada zaman lokal sebagai berikut:
-Karting atau Karapas
            Ialah salah satu cara pengawetan daging babi yaitu. Daging dan lemak babi ditaburi garam dan disangrai hingga kering. Setelah dingin disimpan bersama lemaknya dalam suatu wadah yang bisa bertaha selama 6 bulan asalkan jangan terkena air.
-Sehei
            Adalah satu cara untuk mengawetkan ikan, daya tahan cara pengawetan ini tidak lebih dari tujuh hari. Caranya yaitu. Ikan yang masih baru dipanggang diatas bara api hingga kering benar, dan setelah itu di tutup rapat.
-Kalasuam
            Adalah cara pengawetan daging buruan atau ikan agar rasanya tidak berubah. Namun pengawetan cara ini daya tahannya tidak lebih dari tujuh hari. Caranya yeitu. Ikan atau daging yang akan diawetkan diberi garam secukupnya, dikasih sedikit air, dimasak setengah matang diatas api dan tutup panic jangan dibuka hingga saat akan dimanfaatkan.

3.4 Sistem Kemasyarakatan
3.4.1 Sistem Kekerabatan Suku Dayak
Bilateral/ambilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sIstem pewarisan tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
3.4.2        Bentuk Kehidupan Berkeluarga
1.      Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam kegiatan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga) adalah anak laki-laki tertua,
2.      Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki ayah.
Peran wali/asbah, misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus masalah pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan wali/asbah berdasarkan kesepakatan keluarga.
3.4.3        Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat
1. Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan bujang bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang bersaudara.
2. Sistem endogamI (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.
3.4.4        Perkawinan Yang Dilarang
1.      Incest / Salahoroi, anak dengan orangtua
2.       Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara sekandung
3.      Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda(contoh : tante + ponakan)
3.4.5        Pola Kehidupan Setelah Menikah
1. Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,
2. Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.

3.5 Adat Istiadat
Suku dayak mempunyai adat istirahat yang sangat kuat,dan adatnya tidak dimiliki oleh suku lainnya.Adat istiadat suku dayak masih terjaga sampai saat ini, dan di dunia supranatural suku dayak dari zaman dahulu maupun sampai zaman sekarang masih kuat sampai sekarang. Berikut ritual suku dayak:
1.      Upacara tariu
Upacara Tariu Upacara ini dilakukan oleh seorang Panglima Suku Dayak untuk mengetahui kapan waktu yang tepat memulai peperangan, dengan memanggil roh para leluhur. Biasanya upacara Tariu ini dilakukan sebelum sang panglima mengirimkan “mangkok merah” sebagai tanda akan dimulainya sebuah perang. “Mangkok merah” tersebut akan dikirimkan ke kampung-kampung jika sang panglima merasa sukunya sedang terancam aatau dalam bahaya besar. Dalam ritual tersebut, roh para leluhur akan merasuki tubuh sang panglima, dan akan memberinya kekuatan. Para pasukan yang mendengar mantera-mantera yang dibacakan dalam upacara ini juga akan kerasukan dan mendapat kekuatan yang sama. Dengan kekuatan tersebut, mereka akan berperang dengan hebat, sehingga semakin sakti. Sedangkan, jika orang yang jiwanya labil juga ikut mendengarnya, maka akan langsung jatuh sakit atau menjadi gila. Menurut cerita masyarakat Suku Dayak, sejauh ini “mangkok merah” sendiri sudah pernah beredar beberapa kali. Untuk yang pertama, “mangkok merah” keluar pada zaman penjajahan Jepang dulu, dimana Suku Dayak pernah berperang dengan tentara Negeri Sakura tersebut. Kemudian, “mangkok merah” juga pernah dikirimkan saat mereka akan berperang dengan orang-orang Tionghoa untuk mengusirnya dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
2.      Upacara manajah antang
Upacara Manajah Antang Dalam menghadapi peperangan, biasanya Suku Dayak juga akan melakukan upacara Manajah Antang. Melalui upacara ini, mereka akan mencari petunjuk mengenai keberadaan musuhnya yang selama ini sulit ditemukan. Dalam upacara ini, mereka juga memanggil roh para leluhur melalui burung Antang, yang kemudian akan memberitahukan dimana musuhnya berada. Selain itu, upacara Manajah Antang ini juga bisa digunakan untuk mencari petunjuk lain.
3.      Upacara tiwah
Upacara Tiwah Acara adat istiadat Suku Dayak yang satu ini merupakan upacara untuk mengantar tulang-belulang orang yang sudah meninggal. Dalam upacara Tiwah ini, akan dilakukan banyak ritual, tarian, dan bebunyian dari alat-alat musik tradisional Suku Dayak. Dalam ritual tersebut, mereka akan menyampaikan maksud untuk mengantar tulang-belulang orang yang sudah meninggal tersebut kepada roh para leluhur, agar bisa dijaga. Oleh karena itu, upacara Tiwah juga sama sakralnya dengan dua upacara yang sudah dibahas sebelumnya. Setelah mereka menyampaikan keinginan kepada roh para leluhur, barulah tulang-belulang orang yang sudah meninggal tersebut dibawa dan diletakkan ke tempatnya, yaitu sebuah rumah kecil  
4.      Tari Kancet Papatai
merupakan seni budaya dalam bentuk tari-tarian perang. Tari ini bercerita tentang seorang pahlawan suku Dayak Kenyah yang sedang berperang melawan musuh. Tarian ini juga menggambarkan tentang keberanian para pria atau ajai suku Dayak Kenyah dalam berperang, mulai perang sampai dengan upacara pemberian gelar bagi pria atau ajai yang sudah berhasil mengenyahkan musuhnya.
Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan para penari. Kancet Papatai diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik sampe.
5.      Dunia supranatural
Dunia supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak dulu menjadi ciri khas kebudayaan Dayak. Asal anda tahu saja, karena kegiatan supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (kanibal) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti itu, sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.
6.      Manajah Antang
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya. Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan satu cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
7.      Mangkok Merah
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima perang atau biasa disebut pangkalima oleh masyarakat Dayak, biasanya akan mengeluarkan isyarat siaga berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa pangkalima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa.

3.6 Bahasa
Awal mula bahasa Dayak dari bahasa Austronesia yang masuk melalui bagian utara Kalimantan kemudian menyebar kea rah timur hingga masuk ke pedalaman, serta pulau-pulau di Pasifik dan Selandia Baru. Sampai saat ini, bahasa Dayak berkembang seiring beragam pengaruh. Kedatangan bangsa-bangsa ini membawa pengaruh dan kebudayaan yang beragam. Biasanya penduduk suatu wilayah dibedakan antara “pribumi sejati” yaitu orang Dayak yang memiliki animism dan orang Melayu yang Muslim, serta penetap Cina dan India yang datang kemudian. Ciri-ciri budaya, bahasa dan agama menyebar tanpa mengindahkan asal suku dan melanggar batas kebudayaan serta bahasa yang tadinya ada.
Beberapa sumber mengatakan bahwa bahasa di Kalimantan termasuk dari rumpun bahasa Austronesia. Namun para ahli membedakan bahasa yang di pakai di Sabah dan Filipina, bahasa Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Melayu. Selain pengaruh bahasa dari luar, bahasa dan dialek juga dipengaruhi letak geografis yang ditumbuhi hutan hujan trofis. Pada umumnya orang Dayak di Kalimantan Timur sudah dapat berbahasa Indonesia, terutama kaum muda, karena mereka sudah cukup lama berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan juga mereka harus bisa berkomunikasi dengan suku Dayak lainnya yang memiliki perbedaan bahasa. Bahasa perantara orang Dayak adalah bahasa Ot Danum atau Dohoi. Sedangkan bahasa tertua adalah Sangen atau Sangiang yang dipakai dalam upacara adat. Pada saat ini, hanya sedikit orang Dayak yang mengetahui bahasa Sangiang ini.
Orang Dayak di Kalimantan, terutama Kabupaten Kutai Kartanegara, memilki bahasa dan dialek masing-masing, seperti Dayak Kenyah dan Dayak Kayan memiliki bahasa yang tidak jauh berbeda dan masih lebih banyak persamaannya yang termasuk dalam rumpun Apau Kayan. Dayak Bahau sendiri sebenarnya termasuk suku Kayan yang memiliki 2 dialek, Bahau Sa’ dan Bahau Busang. Dayak Modang juga menggunakan bahasa Bahau. Dayak Benuaq dan Dayak Ngaju memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa otrang Ma’anyan. Dayak Punan yang memiliki 24 sub suku Punan, masing-masing memiliki bahasa dan dialek sendiri. Beberapa sub suku menggunakan bahasa Punan dan Busang, ada juga bahasa Bekatan dan Lisum yang digunakan. Dayak Tunjung memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Tunjung, ada 4 dialek yang mereka gunakan. Mereka juga menggunakan bahasa Kutai, mereka juga mengerti bahasa Benuaq.
Bahasa yang sering dipakai oleh suku dayak dalam kehidupan sehari-hari dibagi 2, yaitu :
1.      Bahasa Pengantar 
Seperti pada umumnya bagian negara Indonesia yang merdeka lainnya, masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia telah digunakan untuk sebagai bahasa pengantar di Pemerintahan dan pendidikan.
2.      Bahasa sehari-hari 
Keberagaman etnis dan suku bangsa menyebabkan Bahsa Indonesia dipengaruhi oleh berbagai dialeg. Namun kebanyakan bahasa daerah ini hanya digunakan dalam lingkungan keluarga dan tempat tinggal, tidak digunakan secara resmi sebagai bahasa pengantar di pemerintahan maupun pendidikan. Sebagian besar suku Kalimantan Tengah terdiri dari suku bangsa Dayak. Suku bangsa dayak sendiri terdiri atas beberapa sub-suku bangsa. Bahasa Dayak Ngaju adalah bahasa dayak yang paling luas digunakan di Kalimantan Tengah, terutama didaerah sungai Kahayan dan Kapuas, bahasa Dayak Ngaju juga terbagi lagi dalam berbagai dialeg seperti seperti bahasa Dayak Katingan dan Rungan. Selain itu bahasa selain itu bahasa Ma’anyan dan Ot’danum juga banyak digunakan. Bahasa Ma’anyan banyak digunakan didaerah aliran sungai Barito dan sekitarnya sedangkan bahasa Ot’danum banyak digunakan oleh suku dayak Ot’danum di hulu sungai Kahayan dan Bahasa Barito timur bagian Tengah-Selatan bagian Tengah :
  • Bahasa Dusun Denyah
Bagian Selatan :
  • Bahasa Ma’anyam
  • Bahasa Dusun Malang
  • Bahasa Dusun Witu
  • Bahasa Dusun Witu
  • Bahasa Paku
Bagian Barito Barat :
  • Bahasa  Barito Barat bagian Utara
  • Bahasa Kohin
  • Bahasa Dohoi
  • Bahasa Siang-Murung
  • Bahasa Barito barat bagian  Selatan
  • Bahasa Bakumpai
  • Bahasa Ngaju
  • Bahasa Kahayan

3.7 Kesenian
Bentuk kesenian suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosiologisnya. Berawal dari masyarakat primitif yang menganut animisme-dinamisme, kebudayaan suku ini berakulturasi dengan kebudayaan kaum pendatang seperti Jawa dan Tionghoa.
Agama yang dianggap lahir dari budaya setempat adalah Kaharingan. Pengaruh kuat agama Hindu dalam proses akulturasi ini menyebabkan Kaharingan dikategorikan ke dalam cabang agama tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, ada akulturasi budaya Islam pengaruh Kesultanan Banjar di pusat kebudayaan suku Dayak.
Meskipun begitu, sebagian masyarakat Dayak tergolong teguh memegang kepercayaan dinamismenya. Untuk kelompok ini, sebagian besar memutuskan untuk memisahkan diri dan masuk semakin jauh ke pedalaman.
IMG_256


Kebudayaan suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam budaya dan keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama,seni rupa, dan sebagainya.
3.7.1        Seni Tari
Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari tradisional. Secara garis besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok.
Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan, yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.Tarian dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-lain, di sekitar Sanggau Kapuas.Tarian dengan gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompok Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas, dan Serawak.Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu. Sebagian besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya, tari Ajat Temuai Datai.
Tarian ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan terhadap pahlawan yang pulang mengayau. Di masa lalu, mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti ‘melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan’.
Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut.
1.      Tari Gantar
Tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2.      Tari Kancet Papatai/Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penarinya. Dalam tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3.      Tari Kancet Ledo/Tari Gong
Jika tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya tarian Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis bagaikan sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup angin. Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Tarian ini biasanya ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4.      Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tarian Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh tanah/lantai. Tarian ini lebih menekankan pada gerakan burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.      Tari Serumpai
Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
6.      Tarian Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.
7.      Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak menggangu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
8.      Tarian Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
9.      Tarian Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
10.  Tari Ngerangkau
Tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
11.  Tarian Baraga’Bagantar
Awalnya Baraga’Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
3.7.2        Seni Musik
Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh. Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.
Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti ‘bersahut-sahutan’. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran. Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak
1.      Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.
2.      Kalalai-lalai
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah Kotawaringin.
3.      Natum
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
4.      Natum Pangpangal
Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota keluarga yang dilagukan.
5.      Dodoi
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
6.      Dondong
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.
7.      Marung
Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
8.      Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang.
9.      Mansana Bandar
Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya.
Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan versi yang berbeda-beda.
10.  Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
11.  Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
12.  Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
13.  Dedeo atau Ngaloak
Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yangberbeda, karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak DusunTengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan Tengah.
14.  Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut.
3.7.3        Alat musik
  Alat muik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalah
sebagai berikut :
1.      Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari tembaga.
2.      Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
3.      Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
4.      Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga.
5.      Gandang Mara
Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran setengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang telah di keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi diberi pasak.
3.7.4        Seni Drama
Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.
3.7.5        Seni Rupa
Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain. Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang layak dibanggakan.


3.8 Sistem Pengetahuan
Seperti halnya suku bangsa lainnya di dunia, suku Dayak juga memiliki sistem pengetahuan tersendiri untuk bertahan hidup (survival). Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan.
Adapun sistem pengetahuan masyarakat Dayak Zaman dahulu meliputi:
1.      Pengetahuan tentang alam
2.      Pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan
3.      Pengetahuan tentang tubuh, sifat dan tingkah laku sesama manusia
4.      Pengetahuan tentang ruang dan waktu
5.      Pengetahuan tentang Seni dan music
6.      Pengetahuan tentang Hukum dan Politik
7.      Pengetahuan tentang filsafat
8.      Pengetahuan tentang sains dan merancang
9.      Pengetahuan tentang peralatan dan Senjata
10.  Dan pengetahuan lainya.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut diperoleh melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan (trial and error) yang disampaikan secara lisan dan tulisan secara turun temurun.
Berkembang-nya sistem pengetahuan Dayak sampai saat ini masih menjadi misteri yang perlu di teliti lebih lanjut lagi, Dilihat dari bukti-bukti peninggalan yang masih tersisa pengetahuan masyarakat Dayak zaman dahulu sudah cukup maju.
Adapun pengetahuan yang dilakukan pada zaman dahulu,yaitu :
1.      Dalam berpakaian dulu orang suku Dayak sering menggunakan ewah (cawat) untuk pakaian asli laki-laki Dayak yang terbuat dari kulit kayu dan Kaum wanita memakai sarung dan baju yang terbuat dari kulit kayu, sedangkan pada masa sekarang orang Dayak di Kalimantan Tengah Sudah berpakaian legkap seperti : laki-laki memakai hem dan celana dan kaum wanita memakai sarung dan kebaya atau bagi anak muda memakai rok potongan Eropa.
2.      Zaman dulu para wanita sering menggunakan anting yang banyak agar semakin panjangnya daun telinga semakin cantik wanita tersebut, para lelakinya sering menggunakan tato bahwa semakin banyaknya tato ditubuh lelaki tersebut maka ia akan terliahat gagah dan ganteng.
3.      Terkadang mereka sering menggunakan bahasa inggris untuk komunikasi tetapi masih bersifat pasif.
4.      Menggandalkan atau menggunakan rasi bintang untuk mengetahui apakah cocok untuk bertanam atau berladang.

3.9 Sistem Religi
Golongan islam merupakan golongan terbesar, sedangkan agama asli dari penduduk pribumi adalahagama Kaharingan. Sebutan kaharingan diambil dari Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Umat Kaharingan percaya bahwa lingkunan sekitarnya penuh dengan mahluk halus dan roh-roh (ngaju ganan) yang menempati tiang rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, air , dan sebagainya. Ganan itu terbagi kedalam 2 golongan, yaitu golongan roh-roh baik (ngaju sangyang nayu-nayu) dan golongan roh-roh jahat (seperti ngaju taloh, kambe, dan sebagainya).    Selain ganan terdapat pula golongan mahluk halus yang mempunyai suatu peranan peting dalam kehidupan orang dayak yaitu roh nenek moyang (ngaju liau). Menurut mereka jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati meninggalkan tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau sebelum kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan mahluk-mahluk halus tersebut terwujud dalam bentuk keagamaan dan upacara-upacara yang dilakukan seperti upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertama kalinya, upacara memotong rambut bayi, upacara mengubur, dan upacara pembakaran mayat. Upacar pembakaran mayat pada orang ngaju menyebutnya tiwah (Ot Danum daro Ma’anyam Ijambe ). Pada upacara itu tulang belulang (terutama tengkoraknya) semua kaum kerabat yang telah meninggal di gali lagi dan dipindahkan ke suatu tempat pemakaman tetap, berupa bangunan berukiran indah yang disebut sandung. 

3.10 Rumah Adat
rumah-adat-kalimantan-riefahmad-blog
Suku Dayak merupakan suku asli yang tinggal di Kalimantan. Suku Dayak tersebar di pulau Kalimantan dan Malaysia memiliki budaya yang unik, banyak Suku Dayak yang masih tinggal di pedalaman hutan Kalimantan dan tidak sedikit juga yang bersosialisasi dan berbaur dengan pendatang di kota-kota besar serta berpendidikan tinggi. Budaya suku dayak yang gemar berpindah-pindah untuk mencari lahan pertanian yang subur membuat mereka tidak hanya berpusat disatu tempat dan menjadikan mereka terpencar diberbagai tempat yang sulit dijangkau.Akan tetapi mereka tetap memiliki jiwa yang sama dan cara berfikir yang mirip, seperti jiwa pekerja keras, ramah, jiwa bahu-membahu dalam kebersamaan yang terus dijaga hingga kini.Terbukti jiwa ini tetap terpancar dari bangunan rumah mereka yang disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang, dimana kebersamaan serta jiwa kekeluargaan masih sangat terasa.
Rumah Betang Suku Dayak tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal belaka. Tetapi lebih dari itu Rumah Betang Suku Dayak memiliki fungsi lain nilai adat yang tinggi. Rumah betang banyak ditemukan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.Rumah Betang Suku Dayak selalu berbentuk panggung dan panjang sesuai dengan namanya. Bentuk ini dipilih bukan tanpa alasan. Bentuk rumah betang yang berbentuk panggung berfungsi untuk:
  1. Menghindari rumah dari banjir, karena banyak Rumah Betang Suku Dayak yang di bangun di pinggir sungai.
  2. Untuk melindungi penghuninya dari binatang buas.
  3. Untuk melindungi penghuninya dari musuh.
Bentuknya yang memanjang mampu menampung hingga kurang lebih 150 jiwa atau 5-30 kepala keluarga atau lebih. ini memungkinkan mereka untuk tetap berada disatu atap, agar mereka mudah berkomunikasi dan saling melindungi serta saling membantu dalam hal apapun seperti ekonomi, pekerjaan dan lain sebagainya
.IMG_257
Pada umumnya Rumah Betang Suku Dayak dibuat hulunya menghadap timur dan hilirnya menghadap barat. Ini merupakan sebuah symbol bagi masyarakat dayak. Hulu yang menghadap timur atau matahari terbit memiliki filosofi kerja keras yaitu bekerja sedini mungkin. Sedangkan hilir yang menghadap barat atau matahari terbenam memiliki filosofi, tidak akan pulang atau berhenti bekerja sebelum matahari terbenam.
Berikut adalah ciri-ciri spesifik Rumah Betang Suku Dayak
  1. Arah hulu rumah menghadap Timur dan Hilir menghadap Barat.
  2. Tinggi rumah dari tanah antara 3 (tiga) meter hingga 5 (lima) meter.
  3. Panjang rumah mulai dari 30 meter hingga 150 meter, lebar sekirat 30 meter.
  4. Dinding terbuat dari kayu berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang
  5. Ruangan dibagi menjadi
  6. Sado : pelataran merupakan jalur lalu-lalang penghuni rumah atau tempat melakukan aktifitas seperti tempat musyawarah adat, tempat menganyam, tempat menumbuk padi dan lain-lain.
  7. Padong : yaitu ruang keluarga berdimensi antara 4×6 meter. Biasanya masing-masing kepala keluarga memiliki satu padong yang digunakan untuk berkumpul makan, minum, menerima tamu dan lain-lain.
  8. Bilik : dipergunakan untuk tempat tidur. Bilik hanya dipisahkan dengan kelambu saja, baik bilik suami istri, bilik anak laki-laki, maupun bilik anak perempuan.
  9. Dapur : Ruang yang terakhir adalah dapur, dalam satu rumah memiliki satu dapur yang biasanya terletak dibelakang.
  10. Memiliki 1 tangga yang dinamakan hejot dan satu pintu masuk. Biasanya terdapat sebuah patung yang dinamakan rancak yang diletakkan didekat pintu masuk, patung itu sendiri merupakan patung persembahan bagi nenek moyang mereka. Sebelum diletakkan di depan pintu biasanya patung atau Rancak telah melalui sebuah proses upacara adat.
  11. Bagian tengah rumah biasanya dihuni oleh tetua adat.
  12. Dinding dan tiangnya memiliki ukiran yang mengandung falsafah hidup suku dayak.
  13. Dihalamannya terdapat Totem atau patung pemujaan.
Wisata Rumah Betang
IMG_258
Rumah betang memang sangat sulit di temukan di tempat-tempat yang mudah dijangkau. Terlebih karena kehidupan masyarakat Suku Dayang yang lebih suka tinggal di pinggir sungai. Walapun begitu kita masih dapat menyaksikan beberapa Rumah Betang Suku Dayak yang masih asli maupun Rumah Betang Suku Dayak sengaja dibangun sebagai gambaran budaya Rumah Betang Suku Dayak yang sesungguhnya.
Anda dapat berkunjung ke beberapa daerah berikut ini untuk dapat menyaksikan rumah betang:
Kalimantan Tengah
  1. Rumah Betang Asli Suku Dayak yang di bangun pada tahun 1870 terdapat di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Rumah ini menghadap langsung kea rah sungai Kahayan
  2. Desa Tumbang Bukoi Kecamatan Mandau Talawang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
  3. Desa Sei Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
  1. Jalan Letjen Sutoyo, Kota Pontianak, Kalimantan Barat
  2. Kampung Sahapm Kec. Pahauman, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat
  3. Kampung Kopar, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
  4. Sungai Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat
  5. Desa Ensaid panjang, Kecamatan Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
Rumah adat Kalimantan Tengah dinamakan rumah betang. Rumah itu panjang bawah kolongnya digunakan untuk bertenun dan menumbuk padi dan dihuni oleh  ±20 kepala keluarga. Rumah terdiri atas 6 kamar, antara lain untuk menyimpan alat-alat perang, kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian, tempat upacara adat dan agama, tempat penginapan dan ruang tamu. Pada kiri kamam ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.

3.11 Busana Tradisional
3.11.1 Busana tradisional Adat Dayak
adalah pakaian khas yang digunakan oleh Suku Dayak disaat mengadakan upacara adat, acara perkawina dan acara lainnya. Busana tradisional Dayak juga memiliki fungsi sebagai pemberian kasta dimana desain corak yang berbeda atau lebih menonjol dari corak yang dikenakan pada umumnya menandakan orang tersebut adalah keturunan bangsawan, contohnya adalah corak bergambar harimau.

3.11.2 Busana Suku Dayak Kenyah

Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur memiliki busana tradisional yang disebut sapei sapaq untuk kaum laki-laki dan ta'a untuk kaum perempuan, pakaian ta a terdiri dari semacam ikat kepala yang disebut da a yang dibuat dari pandan, umumnya yang menggunakan da a ini adalah para orang tua, baju atasannya disebut dengan nama sapei inoq serta bawahan dari busana tersebut berupa rok yang dikenal dengan nama ta a. Busana sapei sapaq untuk laki-laki tidak jauh berbeda coraknya dengan busana ta a, perbedaannya hanya pada pakaian atas saja yang dibuat berbentuk rompi ditambah dengan paduan busana bawahan berupa cawat yang diberi nama abet kaboq yaitu semacam celana pendek ketat, sedangkan untuk aksesoris pakaian ditambahkan dengan mandau yang diikat di pinggang. Corak dari busana ini beragam ada yang bergambar burung enggang, harimau ataupun tumbuh-tumbuhan dimana jika dipakaian adat itu ada gambar enggang atau harimau berarti yang memakainya keturunan bangsawan. Kalau hanya motif tumbuhan saja berarti orang biasa saja.
3.11.3 Busana Suku Dayak Ngaju
Suku Dayak Ngaju merupakan sebutan bagi penduduk dayak yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah. Seperti Suku Dayak lainnya, Suku Dayak Ngaju ini juga memiliki busana tradisional yang dianggap sebagai simbol peradaban masyarakat di daerah tersebut. Untuk kaum pria Kelengkapan pakaian tradisional yang dikenakan adalah berupa rompi, kain penutup bagian bawah sebatas lutut, ikat kepala berhiaskan bulu-bulu enggang, kalung manik-manik dan ikat pinggang, serta tameng kayu beserta mandau dibagian pinggang. Sementara kelengkapan yang dikenakan oleh kaum wanita yaitu berupa baju rompi, kain (rok pendek), ikat atau penutup kepala yang dihiasi bulu-bulu enggang, kalung manik-manik, ikat pinggang serta gelang tangan. Bahan-bahan pembuatan busana tersebut menggunakan kulit kayu siren atau kayu nyamu dengan dibubuhi warna dan corak hias yang diilhami oleh keyakinan dan mitologi yang berkembang di masyarakat untuk mempercantik busana mereka. Selain dari kulit kayu suku Dayak Ngaju juga membuat busana dari serat alam yang disebut dengan busana adat kain tenun halus.

3.11.4 Busana Suku Kutai

Busana Suku Kutai disebut dengan nama Kustin. Pakaian ini hanya dipakai oleh suku Kutai dari golongan menengah ke atas dimana digunakan untuk upacara pernikahan pada jaman kerajaan Kutai Kartanegara. Istilah Kustin sendiri berasal dari kata kostum yang berarti pakaian kebesaran suku Kutai. Pakaian Adat Kutai ini terbuat dari bahan beludru berwarna hitam, memiliki lengan yang panjang dan berkerah tinggi dengan ujung lengan, kerah serta bagian dada berhias pasmen. Untuk kaum pria pakaian ini dipadukan dengan celana panjang yang dibagian luarnya dipasang dodot rambu dan tutup kepala bundar yang dinamakan setorong berhiaskan lambang yang berwujud wapen. sedangkan untuk dikenakan oleh kaum wanita ada tambahan berupa sanggul yang hampir sama dengan sanggul aksesoris Jawa, serta dibagian puncak belakang ditambahkan kelibun berwarna kuning yang terbuat dari bahan sutera.

3.11.5 Busana Bulang Kuurung dan Bulang Burai King

Selain busana adat diatas, ada beberapa busana adat Dayak yang belum sering terekspos yaitu Bulang kuurung dan Bulang Burai king. Bulan kuurung terbagi-bagi menjadi pakaian tanpa lengan, dokot tangan (pakaian dengan lengan pendek) serta lengke (baju dengan lengan panjang). Biasanya pakaian seperti ini digunakan oleh para dukun. Sedangkan untuk Bulung Burai King adalah jenis busana adat Dayak yang paling terkenal, biasanya digunakan pada saat upacara adat. Ciri dari busana ini adalah dihiasi dengan manik-manik dan bulu burung yang dibentuk rapi sehingga membuatnya terlihat rapi, indah dan menarik.


BAB IV
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka, karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi keluarga mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka.

4. 2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimat dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.



DAFTAR PUSTAKA


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Makalah Orientasi Nilai Budaya

Dugaan Megalodon yang Masih Bertahan Hidup