KEBUDAYAAN SUKU DAYAK
(Makalah Ilmu Sosial Dasar)
Kelompok
3 :
Aditya
Nugroho (30417174)
Akmal
Fuadi (30417411)
Geraldy
Jeremi (37417127)
Muhammad
Syah Fadzri (34417251)
Olga
Qamariah (34417662)
Reviana
Siti Mardiah (35417082)
Yohanes
Rama Surya Wakita (36417292)
Kelas
: 1ID05
Jurusan Teknik Industri
Fakultas Teknologi Industri
Universitas Gunadarma
Depok
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan berkat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “KEBUDAYAAN SUKU DAYAK” ini tepat waktu.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai berbagai
informasi mengenai kebudayaan suku Dayak. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini.
Depok,
Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
Hlm
KATA PENGANTAR.......................................................................................... II
DAFTAR ISI........................................................................................................ III
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 5
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 5
1.3 Tujuan
Penulisan....................................................................................... 6
1.4 Manfaat
Penulisan..................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI............................................................................. 7
2.1
Suku Dayak................................................................................................ 7
2.2
Asal Usul.................................................................................................... 7
BAB III
PEMBAHASAN................................................................................... 10
3.1
Sistem Perlengkapan dan Peralatan............................................................ 10
3.2
Sistem Mata Pencarian Hidup.................................................................... 14
3.3
Cara Masyarakat Dayak Memanfaatkan Makanan..................................... 15
3.4
Sistem Kemasyarakatan.............................................................................. 16
3.4.1
Sistem Kekerabatan Suku Dayak....................................................... 16
3.4.2
Bentuk Kehidupan Berkeluarga......................................................... 16
3.4.3
Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat... 16
3.4.4
Perkawinan Yang Dilarang................................................................. 16
3.4.5
Pola Kehidupan Setelah Menikah....................................................... 17
3.5
Adat Istiadat.............................................................................................. 17
3.6
Bahasa........................................................................................................ 19
3.7
Kesenian..................................................................................................... 21
3.7.1
Seni Tari.............................................................................................. 22
3.7.2
Seni Musik.......................................................................................... 25
3.7.3
Alat music........................................................................................... 27
3.7.4
Seni Drama......................................................................................... 28
3.7.5
Seni Rupa............................................................................................ 28
3.8
Sistem Pengetahuan.................................................................................... 29
3.9
Sistem Religi............................................................................................... 30
3.10
Rumah Adat............................................................................................. 31
3.11
Busana Tradisional................................................................................... 34
3.11.1
Busana tradisional Adat Dayak........................................................ 34
3.11.2
Busana Suku Dayak Kenyah............................................................ 35
3.11.3
Busana Suku Dayak Ngaju............................................................... 35
3.11.4
Busana Suku Kutai........................................................................... 36
3.11.5
Busana Bulang Kuurung dan Bulang Burai King............................ 36
BAB IV
PENUTUP............................................................................................. 37
4.1 Kesimpulan................................................................................................ 37
4.2 Saran.......................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 38
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia adalah Negara dengan keragaman budaya dan suku bangsa. Dayak merupakan salah satu dari ribuan
suku yang terdapat di Indonesia. Dayak ini dikenal sebagai salah satu suku
asli di Kalimantan. Mereka merupakan salah satu penduduk mayoritas di provinsi tersebut. Kata Dayak
dalam bahasa local Kalimantan
berarti orang yang tinggal di hulu sungai. Hal ini mengacu kepada tempat tinggal mereka yang berada di
hulu sungai-sungai besar.
Agak berbeda dengan kebudayaan Indonesia lainnya yang pada umumnya bermula di daerah pantai, masyarakat
suku Dayak menjalani sebagian besar hidupnya di sekitar daerah aliran sungai pedalaman
Kalimantan.Dalam pikiran orang awam, suku
Dayak hanya ada satu jenis. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam
banyak sub-sub suku. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya masyarakat Dayak menjadi
kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar. Setiap
sub suku memiliki budaya unik dan memberi ciri khusus pada setiap komunitasnya.
Dari uraian di atas kami tertarik untuk membuat makalah yang
terkait lebih dengan mengambil judul "Kebudayaan Suku
Dayak".
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Siapa
sebenarnya suku dayak itu?
2.
Bagaimana
asal usul suku dayak?
3.
Bagaimana
sistem peralatan dan perlengkapan hidup suku dayak?
4.
Bagaimana
sistem mata pencarian hidup suku dayak?
5.
Bagaimana
cara masyarakat dayak memanfaatkan makanan?
6.
Bagaimana
sistem kemasyarakatan suku dayak?
7.
Apa
saja adat istiadat yang terdapat di suku dayak?
8.
Apa
bahasa yang digunakan oleh suku dayak?
9.
Kesenian
apa saja yang terdapat di suku dayak?
10. Bagaimana sistem pengetahuan suku dayak?
11. Bagaimana sistem religi masyarakat suku dayak?
12. Seperti apa rumah adat suku dayak?
13. Seperti apa busana tradisional masyarakat suku dayak?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui tentang :
1.
Sekilas
informasi mengenai suku dayak
2.
Asal
usul suku dayak
3.
Sistem
peralatan dan perlengkapan suku dayak
4.
Sistem
mata pencarian hidup suku dayak
5.
Cara
masyarakat suku dayak dalam memanfaatkan makanan
6.
Sistem
kemasyarakatan suku dayak
7.
Adat
istiadat suku dayak
8.
Bahasa
yang digunakan masyarakat suku dayak
9.
Kesenian
suku dayak
10. Sistem pengetahuan suku dayak
11. Sistem religi suku dayak
12. Rumah adat suku dayak
13. Busana tradisional suku dayak
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah
wawasan bagi pembaca tentang kebudayaan suku dayak.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Suku
Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok
yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri
sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih
diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh
Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur.
Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
bahwa suku bangsa yang terdapat di Kalimantan terbagi menjadi tiga suku yaitu
suku Banjar, suku Dayak dan suku non Dayak dan non Banjar. Dahulunya budaya
masyarakat Dayak adalah budaya maritime atau bahari, dan hampir semua nama
sebutan bagi orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
perhuluan atau sungai, khususnya nama-nama rumpun dan nama kekeluargaanya.
Pada golongan Dayak terdapat enam rumpun yaitu rumpun
Klemantan (Kalimantan), rumpun Iban, rumpun Apokayan atau dayak Kayan, Kenyah
dan Bahau, rumpun Ot Danum-Ngaju, rumpun Murut, dan rumpun Punan. Tetapi pada
hakekatnya rumpun-rumpun tersebut masing-masing memiliki kekerabatan di luar
pulau Kalimantan.
2.2 Asal-usul suku dayak
Pada
tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan
bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra
dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa
pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di
seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar
menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau
Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki
sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak
Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun
1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak
terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya
terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi
mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang
Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan
Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah
seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga
berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf
kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan
penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka
tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih
disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan.
Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada
tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan
Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari
Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga
barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang
masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman
dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini
merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia,
karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Sistem Perlengkapan dan Peralatan
Dalam
melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat
dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling
mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup
sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan
merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu
hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan
hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga
kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut
mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan
sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu,
menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah
dan lain-lain, serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian
orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan
kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat
dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan
perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut
Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan
terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka
mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang
menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius
Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu
kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung
selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan
antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak
alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak,
dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola
budaya yang dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang
Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem
perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem perladangan
merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam
Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau
swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang
merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999),
memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua
abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai
daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi. Almutahar (1995)
mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup
bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan
itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka
hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam
setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari
tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak
bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada
dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi,
sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto
(1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin
membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa
persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada
kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan
mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan
untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha
mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok
untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti
hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai
tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka
dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan
melindungi mereka.
Hasil
penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh
ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari
kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu
dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar”
menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya
untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya.
Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena
kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu
atau dua musim tanam.
Berlakunya
“ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan
norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat
memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila
petani penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka
penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada
persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada
anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya
tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat
diwariskan kepada anak cucunya. Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang
Punan, dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya
memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai.
Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
Dalam
studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove,
(1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut:
(1)
pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan pertanda burung;
(2)
membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang;
(3)
menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak;
(4)
setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan;
(5)
menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu
(kemudian di ladang berpaya mengadakan pencangkokan padi);
(6)
menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);
(7)
menjaga ladang dari gangguan binatang buas;
(8)
mengadakan panen tanaman padi; dan
(9)
mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya
menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang
tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah:
(1)
pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam
rumput atau rotan);
(2)
membangunan pondok di ladang;
(3)
memproses padi;
(4)
menanam tanaman yang bukan padi.
Dalam
setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului
dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang
yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di
Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas
sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan,
perkebunan rakyat seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis),
kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain ialah Pisau, Kapak. Baliong,
Tugal, Pangatam, Pide, Inge, Atokng, Nyiro, Pisok karet, Tombak dan lain-lain.
Dalam
pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak
antara lain Periuk atau Sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak
nasi, Kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, Panci dari bahan logam, Ketel
atau Ceret dari bahan logam, dan Tungku batu. Jenis alat tidur antara lain
Tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, Kelasa yaitu tikar yang
terbuat dari rotan, Bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung
dengan kain, Klambu, Katil dan Pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari
kayu.
3.2
Sistem Mata Pencarian Hidup
Mata
pencaharian masyarkat Suku Dayak selalu ada hubunganya dengan hutan. Mata penca
harian masyarkat dipengaruhi oleh faktor geografis yang berkaitan dengan tempat
tinggal, latar belakang pengetahuan (pendidikan), sosiall dan kepercayaan.
Secara umum, mata pencaharian masyarakat suku Dayak adalah bertani, berburu,
berkebun, dan bekerja dipemerintahan dan swasta. Sebagian besar aktivitas
masyarakat dilakukan di dalam hutan seperti bertani, berburu, meramu, bercocok
tanam, perikanan, perternakan dan sebagainya. Oleh sebab itu keberadaan hutan
sangat berperan penting terhadap kelangsungan hidup orang Dayak.
1. Bertani
Pada
jaman dulu, sejak sebelum mengenal adanya pendidikan formal, kebanyakan
masyarakat Dayak memiliki mata pencaharian sebagai petani yang menggarap lahan
yang ada di sektar tempat tinggal mereka. Kondisi tanah dikalimantan memiliki
lapisan humus tipis dan berjenis tanah gambut, membuat lahan suku Dayak mudah
sekali kehilangan kesuburan. Cara meningkatkan kesuburan adalah dengan membakar
lahan dan membuka lahan baru. Semenjak mengerti cara pertanian modern, system
ladang berpindah dan juga membakar hutan ini sudah mulai ditinggalkan, tidak
sedikit suku Dayak yang merubah pola pertanian mereka dengan pertanian modern
lebih cenderung sawit dan karet.
2. Berburu
Suku
Dayak biasanya berburu dihutan dan mencari ikan disungai. Kegiatan tersebut
biasanya dilakukan setelah masa tanam, yakni saat menunggu panen dari kebun
mereka. Hewan yang sering menjadi tangkapan mereka dan menjadi makanan
sehari-hari adalah babi hutan, rusa, buruung, tupai, kijang, pelanduk, dan
hewan-hewan yang bias ditangkap lainya. Masuknya pendidikan formal dikalangan
suku dayak , banyak dari mereka yang meninggalkan pola berburu menjadi pola
berternak, umunyua ternak mereka adalah babi karena sangat mudah mencari
makananya. Selain itu juga ada ayam yang diternak secara bebas dan kandang saat
sore tiba.
3. Pegawai
Banyak
putra/putri suku Dayak yang berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat yang
paling tinggi sehingga merubah pola mata pencaharian suku Dayak. Banyakk dari
generasi baru suku Dayak yang kemudian menjadi pegawai negeri, karyawan
diperusahaam swasta atau BUMN bahkan menjadi pejabat di pemerintahan. Selain
itu banyak juga yang kembali ke tanah kelahiranya untuk menjadi guru, kepala
desa, bidan atau tenaga medis lainnya. Mereka membagi ilmu dari bangku sekolah
dan menularkanya pada saudara-saudaranya yang berada dipedalaman.
3.3
Cara Masyarakat Dayak Memanfaatkan Makanan
Masyarakat dayak memiliki ide atau cara unik
memanfaatkan makan atau cara untuk menfaatkan hasil berburu mereka yang berbeda
dengan suku lainnya.
Cara yang mereka pakai,yaitu :
1.
Pengawetan
Makanan.
Alasannya agar makanan yang ada biar
bisa bertahan lama karena masyarakat dayak hanya memakai cara-cara alami tidak
ada pengawetan makanan seperti zaman modern ini. Contonya kulkas, formalin,
atau lapisan lilin yang tipis. Cara pengawetan
makanan pada zaman lokal sebagai berikut:
-Karting
atau Karapas
Ialah salah satu cara pengawetan
daging babi yaitu. Daging dan lemak babi ditaburi garam dan disangrai hingga
kering. Setelah dingin disimpan bersama lemaknya dalam suatu wadah yang bisa
bertaha selama 6 bulan asalkan jangan terkena air.
-Sehei
Adalah satu cara untuk mengawetkan
ikan, daya tahan cara pengawetan ini tidak lebih dari tujuh hari. Caranya
yaitu. Ikan yang masih baru dipanggang diatas bara api hingga kering benar, dan
setelah itu di tutup rapat.
-Kalasuam
Adalah cara pengawetan daging buruan
atau ikan agar rasanya tidak berubah. Namun pengawetan cara ini daya tahannya
tidak lebih dari tujuh hari. Caranya yeitu. Ikan atau daging yang akan
diawetkan diberi garam secukupnya, dikasih sedikit air, dimasak setengah matang
diatas api dan tutup panic jangan dibuka hingga saat akan dimanfaatkan.
3.4
Sistem Kemasyarakatan
3.4.1 Sistem Kekerabatan Suku Dayak
Bilateral/ambilineal, yaitu menarik
garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sIstem pewarisan tidak
membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
3.4.2
Bentuk
Kehidupan Berkeluarga
1.
Keluarga
batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam kegiatan sosial
dan politik di lingkungan dan di luar keluarga) adalah anak laki-laki tertua,
2.
Keluarga
luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara
laki-laki ayah.
Peran wali/asbah,
misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus masalah
pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan
dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan
wali/asbah berdasarkan kesepakatan keluarga.
3.4.3
Perkawinan
Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat
1. Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan
bujang bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang
bersaudara.
2. Sistem endogamI (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.
2. Sistem endogamI (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.
3.4.4
Perkawinan
Yang Dilarang
1.
Incest
/ Salahoroi, anak dengan orangtua
2.
Patri parallel – cousin, perkawinan
antara dua sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara sekandung
3.
Perkawinan
antara generasi-generasi yang berbeda(contoh : tante + ponakan)
3.4.5
Pola
Kehidupan Setelah Menikah
1.
Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,
2. Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.
2. Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.
3.5
Adat Istiadat
Suku dayak
mempunyai adat istirahat yang sangat kuat,dan adatnya tidak dimiliki oleh suku
lainnya.Adat istiadat suku dayak masih terjaga sampai saat ini, dan di
dunia supranatural suku dayak dari zaman dahulu maupun sampai zaman sekarang
masih kuat sampai sekarang. Berikut ritual suku dayak:
1.
Upacara tariu
Upacara Tariu Upacara ini dilakukan oleh seorang Panglima
Suku Dayak untuk mengetahui kapan waktu yang tepat memulai peperangan, dengan
memanggil roh para leluhur. Biasanya upacara Tariu ini dilakukan sebelum sang
panglima mengirimkan “mangkok merah” sebagai tanda akan dimulainya sebuah
perang. “Mangkok merah” tersebut akan dikirimkan ke kampung-kampung jika sang
panglima merasa sukunya sedang terancam aatau dalam bahaya besar. Dalam ritual tersebut,
roh para leluhur akan merasuki tubuh sang panglima, dan akan memberinya
kekuatan. Para pasukan yang mendengar mantera-mantera yang dibacakan dalam
upacara ini juga akan kerasukan dan mendapat kekuatan yang sama. Dengan
kekuatan tersebut, mereka akan berperang dengan hebat, sehingga semakin sakti.
Sedangkan, jika orang yang jiwanya labil juga ikut mendengarnya, maka akan
langsung jatuh sakit atau menjadi gila. Menurut cerita masyarakat Suku Dayak,
sejauh ini “mangkok merah” sendiri sudah pernah beredar beberapa kali. Untuk
yang pertama, “mangkok merah” keluar pada zaman penjajahan Jepang dulu, dimana
Suku Dayak pernah berperang dengan tentara Negeri Sakura tersebut. Kemudian,
“mangkok merah” juga pernah dikirimkan saat mereka akan berperang dengan orang-orang
Tionghoa untuk mengusirnya dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
2.
Upacara manajah antang
Upacara Manajah Antang Dalam menghadapi peperangan, biasanya
Suku Dayak juga akan melakukan upacara Manajah Antang. Melalui upacara ini,
mereka akan mencari petunjuk mengenai keberadaan musuhnya yang selama ini sulit
ditemukan. Dalam upacara ini, mereka juga memanggil roh para leluhur melalui
burung Antang, yang kemudian akan memberitahukan dimana musuhnya berada. Selain
itu, upacara Manajah Antang ini juga bisa digunakan untuk mencari petunjuk
lain.
3.
Upacara tiwah
Upacara
Tiwah Acara adat istiadat Suku Dayak yang satu ini merupakan upacara untuk
mengantar tulang-belulang orang yang sudah meninggal. Dalam upacara Tiwah ini,
akan dilakukan banyak ritual, tarian, dan bebunyian dari alat-alat musik
tradisional Suku Dayak. Dalam ritual tersebut, mereka akan menyampaikan maksud
untuk mengantar tulang-belulang orang yang sudah meninggal tersebut kepada roh
para leluhur, agar bisa dijaga. Oleh karena itu, upacara Tiwah juga sama
sakralnya dengan dua upacara yang sudah dibahas sebelumnya. Setelah mereka
menyampaikan keinginan kepada roh para leluhur, barulah tulang-belulang orang
yang sudah meninggal tersebut dibawa dan diletakkan ke tempatnya, yaitu sebuah
rumah kecil
4.
Tari Kancet Papatai
merupakan seni budaya dalam bentuk tari-tarian perang. Tari
ini bercerita tentang seorang pahlawan suku Dayak Kenyah yang sedang berperang
melawan musuh. Tarian ini juga menggambarkan tentang keberanian para pria atau
ajai suku Dayak Kenyah dalam berperang, mulai perang sampai dengan upacara
pemberian gelar bagi pria atau ajai yang sudah berhasil mengenyahkan musuhnya.
Gerakan
tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh
pekikan para penari. Kancet Papatai diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya
menggunakan alat musik sampe.
5.
Dunia supranatural
Dunia supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak dulu
menjadi ciri khas kebudayaan Dayak. Asal anda tahu saja, karena kegiatan
supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan
manusia (kanibal) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti itu,
sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena.
6.
Manajah Antang
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya.
Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan satu cara suku Dayak untuk
mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari
arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari
pasti akan ditemukan.
7.
Mangkok Merah
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok
merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar.
Panglima perang atau biasa disebut pangkalima oleh masyarakat Dayak, biasanya
akan mengeluarkan isyarat siaga berupa mangkok merah yang di edarkan dari
kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak
orang tidak tahu siapa pangkalima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya
saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa.
3.6
Bahasa
Awal mula bahasa Dayak dari bahasa Austronesia yang masuk
melalui bagian utara Kalimantan kemudian menyebar kea rah timur hingga masuk ke
pedalaman, serta pulau-pulau di Pasifik dan Selandia Baru. Sampai saat ini, bahasa
Dayak berkembang seiring beragam pengaruh. Kedatangan bangsa-bangsa ini membawa
pengaruh dan kebudayaan yang beragam. Biasanya penduduk suatu wilayah dibedakan
antara “pribumi sejati” yaitu orang Dayak yang memiliki animism dan orang
Melayu yang Muslim, serta penetap Cina dan India yang datang kemudian.
Ciri-ciri budaya, bahasa dan agama menyebar tanpa mengindahkan asal suku dan
melanggar batas kebudayaan serta bahasa yang tadinya ada.
Beberapa sumber mengatakan bahwa bahasa di Kalimantan
termasuk dari rumpun bahasa Austronesia. Namun para ahli membedakan bahasa yang
di pakai di Sabah dan Filipina, bahasa Melayu dari Sumatra dan Semenanjung
Melayu. Selain pengaruh bahasa dari luar, bahasa dan dialek juga dipengaruhi
letak geografis yang ditumbuhi hutan hujan trofis. Pada umumnya orang Dayak di
Kalimantan Timur sudah dapat berbahasa Indonesia, terutama kaum muda, karena
mereka sudah cukup lama berinteraksi dengan masyarakat lainnya dan juga mereka
harus bisa berkomunikasi dengan suku Dayak lainnya yang memiliki perbedaan
bahasa. Bahasa perantara orang Dayak adalah bahasa Ot Danum atau Dohoi.
Sedangkan bahasa tertua adalah Sangen atau Sangiang yang dipakai dalam upacara
adat. Pada saat ini, hanya sedikit orang Dayak yang mengetahui bahasa Sangiang
ini.
Orang Dayak di Kalimantan, terutama Kabupaten Kutai
Kartanegara, memilki bahasa dan dialek masing-masing, seperti Dayak Kenyah dan
Dayak Kayan memiliki bahasa yang tidak jauh berbeda dan masih lebih banyak
persamaannya yang termasuk dalam rumpun Apau Kayan. Dayak Bahau sendiri
sebenarnya termasuk suku Kayan yang memiliki 2 dialek, Bahau Sa’ dan Bahau
Busang. Dayak Modang juga menggunakan bahasa Bahau. Dayak Benuaq dan Dayak
Ngaju memiliki bahasa yang sama yaitu bahasa otrang Ma’anyan. Dayak Punan yang
memiliki 24 sub suku Punan, masing-masing memiliki bahasa dan dialek sendiri.
Beberapa sub suku menggunakan bahasa Punan dan Busang, ada juga bahasa Bekatan
dan Lisum yang digunakan. Dayak Tunjung memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa
Tunjung, ada 4 dialek yang mereka gunakan. Mereka juga menggunakan bahasa
Kutai, mereka juga mengerti bahasa Benuaq.
Bahasa
yang sering dipakai oleh suku dayak dalam kehidupan sehari-hari dibagi 2, yaitu
:
1.
Bahasa Pengantar
Seperti pada umumnya bagian negara Indonesia yang merdeka lainnya,
masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Bahasa Indonesia telah digunakan untuk sebagai bahasa pengantar di
Pemerintahan dan pendidikan.
2.
Bahasa sehari-hari
Keberagaman etnis dan suku bangsa menyebabkan Bahsa Indonesia
dipengaruhi oleh berbagai dialeg. Namun kebanyakan bahasa daerah ini hanya
digunakan dalam lingkungan keluarga dan tempat tinggal, tidak digunakan secara
resmi sebagai bahasa pengantar di pemerintahan maupun pendidikan. Sebagian
besar suku Kalimantan Tengah
terdiri dari suku bangsa Dayak. Suku bangsa dayak sendiri terdiri atas beberapa
sub-suku bangsa. Bahasa Dayak Ngaju adalah bahasa dayak yang paling luas
digunakan di Kalimantan Tengah, terutama didaerah sungai Kahayan dan Kapuas,
bahasa Dayak Ngaju juga terbagi lagi dalam berbagai dialeg seperti seperti
bahasa Dayak Katingan dan Rungan. Selain itu bahasa selain itu bahasa Ma’anyan
dan Ot’danum juga banyak digunakan. Bahasa Ma’anyan banyak digunakan didaerah
aliran sungai Barito dan sekitarnya sedangkan bahasa Ot’danum banyak digunakan
oleh suku dayak Ot’danum di hulu sungai Kahayan dan Bahasa Barito timur bagian
Tengah-Selatan bagian Tengah :
- Bahasa
Dusun Denyah
Bagian
Selatan :
- Bahasa
Ma’anyam
- Bahasa
Dusun Malang
- Bahasa
Dusun Witu
- Bahasa
Dusun Witu
- Bahasa
Paku
Bagian
Barito Barat :
- Bahasa
Barito Barat bagian Utara
- Bahasa
Kohin
- Bahasa
Dohoi
- Bahasa
Siang-Murung
- Bahasa
Barito barat bagian Selatan
- Bahasa
Bakumpai
- Bahasa
Ngaju
- Bahasa
Kahayan
3.7
Kesenian
Bentuk kesenian suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah
sosiologisnya. Berawal dari masyarakat primitif yang menganut
animisme-dinamisme, kebudayaan suku ini berakulturasi dengan kebudayaan kaum
pendatang seperti Jawa dan Tionghoa.
Agama yang dianggap lahir dari budaya setempat adalah
Kaharingan. Pengaruh kuat agama Hindu dalam proses akulturasi ini menyebabkan
Kaharingan dikategorikan ke dalam cabang agama tersebut. Dalam perkembangan
berikutnya, ada akulturasi budaya Islam pengaruh Kesultanan Banjar di pusat
kebudayaan suku Dayak.
Meskipun begitu, sebagian masyarakat Dayak tergolong teguh
memegang kepercayaan dinamismenya. Untuk kelompok ini, sebagian besar
memutuskan untuk memisahkan diri dan masuk semakin jauh ke pedalaman.
Kebudayaan
suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam budaya dan
keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama,seni rupa, dan
sebagainya.
3.7.1
Seni Tari
Banyaknya
suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari tradisional. Secara
garis besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan menjadi 4
kelompok.
Tarian
dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan,
yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati,
dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.Tarian dengan gerak
tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic atau Bidayuh,
yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang,
Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-lain, di sekitar Sanggau
Kapuas.Tarian dengan gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompok
Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan
sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas, dan
Serawak.Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh
suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu. Sebagian
besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya,
tari Ajat Temuai Datai.
Tarian
ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan
terhadap pahlawan yang pulang mengayau. Di masa lalu, mengayau berarti pergi
membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti
‘melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan
berdirinya suatu bangunan’.
Beberapa
contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut.
1. Tari Gantar
Tarian
ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk
sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan
wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu
dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung
namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga
versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai/Tari Perang
Tarian
ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan
musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang
diikuti oleh pekikan si penarinya. Dalam tarian ini, penari mempergunakan
pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang
seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak
Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo/Tari Gong
Jika
tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah,
sebaliknya tarian Kancet Ledo menggambarkan kelemah-lembutan seorang gadis
bagaikan sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup angin. Tari ini dibawakan
oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dan
pada kedua belah tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang.
Tarian ini biasanya ditarikan di atas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut
juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan
kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak
karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan
merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya
seperti Tarian Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan
bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi
merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh tanah/lantai. Tarian
ini lebih menekankan pada gerakan burung Enggang ketika terbang melayang dan
hinggap bertengger di dahan pohon.
5. Tari Serumpai
Ini
merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah
penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai
karena tarian ini diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
6. Tarian Belian Bawo
Upacara
Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar
nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tarian ini sering
disajikan pada acara-acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari
suku Dayak Benuaq.
7. Tari Kuyang
Sebuah
tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga
pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak menggangu manusia atau orang yang
menebang pohon tersebut.
8. Tarian Pecuk Kina
Tarian
ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo
Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan
waktu bertahun-tahun.
9. Tarian Datun
Tarian
ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh
seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai
tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini
berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
10. Tari Ngerangkau
Tarian
adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini
mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur
dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
11. Tarian Baraga’Bagantar
Awalnya
Baraga’Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan
dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian
oleh suku Dayak Benuaq.
3.7.2
Seni Musik
Tidak
jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik
ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada
roh-roh. Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat,
pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.
Masuknya
Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik
tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu
yang dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti ‘bersahut-sahutan’. Dibawakan
oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau
sindiran. Berikut adalah beberapa kesenian musik suku Dayak
1. Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.
2. Kalalai-lalai
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah Kotawaringin.
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mamadi daerah Kotawaringin.
3. Natum
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan.
4. Natum Pangpangal
Natum
Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi kematian anggota
keluarga yang dilagukan.
5. Dodoi
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
6. Dondong
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.
7. Marung
Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
8. Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang.
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih sayang.
9. Mansana Bandar
Mansana
artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang tokoh yang sangat
dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan diyakini bahwa tokoh
Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini orang-orang tertentu yang
bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman namanya karena pada kepribadiannya yang
sangat simpatik dan menarik, disamping memiliki sifat kepahlawanan dan
kesaktian yang tiada duanya.
Banyak
sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar ini, namun dengan
versi yang berbeda-beda.
10. Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada RanyingHatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
11. Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
12. Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan Murung, Kabupaten Barito Hulu.
13. Dedeo atau Ngaloak
Dedeo
atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yangberbeda, karena Dedeo
atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak DusunTengah didaerah Barito Tengah, Kalimantan Tengah.
14. Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut.
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut.
3.7.3
Alat musik
Alat muik yang biasa terdapat di dalam
kebudayaan Suku Dayak adalah
sebagai berikut :
sebagai berikut :
1. Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari tembaga.
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari tembaga.
2. Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
3. Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
4. Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga.
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima biji, terbuat dari tembaga.
5. Gandang Mara
Gandang
Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran setengah sampai
tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat dari kayu dan pada ujung
permukaan di tutup kulit rusa yang telah di keringkan. Kemudian di ikat rotan
agar kencang dan lebih kencang lagi diberi pasak.
3.7.4
Seni Drama
Drama tradisional ditemukan
pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon
kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan.
Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.
3.7.5
Seni Rupa
Seni rupa Dayak terlihat pada
seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak
mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada
macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
Patung azimat yang dianggap
berkhasiat mengobati penyakit.Patung kelengkapan upacara.Patung blontang,
semacam patung totem di masyarakat Indian. Selain itu, seni rupa Dayak terlihat
pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat),
anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan
lain-lain. Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara
yang layak dibanggakan.
3.8
Sistem Pengetahuan
Seperti halnya suku bangsa lainnya di dunia, suku Dayak juga
memiliki sistem pengetahuan tersendiri untuk bertahan hidup (survival). Secara
sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang
benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan.
Adapun sistem pengetahuan masyarakat Dayak Zaman dahulu
meliputi:
1.
Pengetahuan tentang alam
2.
Pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan
3.
Pengetahuan tentang tubuh, sifat dan tingkah
laku sesama manusia
4.
Pengetahuan tentang ruang dan waktu
5.
Pengetahuan tentang Seni dan music
6.
Pengetahuan tentang Hukum dan Politik
7.
Pengetahuan tentang filsafat
8.
Pengetahuan tentang sains dan merancang
9.
Pengetahuan tentang peralatan dan Senjata
10.
Dan pengetahuan lainya.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut diperoleh melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau
percobaan-percobaan (trial and error) yang disampaikan secara lisan dan tulisan
secara turun temurun.
Berkembang-nya sistem pengetahuan Dayak sampai saat ini masih
menjadi misteri yang perlu di teliti lebih lanjut lagi, Dilihat dari
bukti-bukti peninggalan yang masih tersisa pengetahuan masyarakat Dayak zaman
dahulu sudah cukup maju.
Adapun
pengetahuan yang dilakukan pada zaman dahulu,yaitu :
1.
Dalam berpakaian dulu orang suku Dayak sering
menggunakan ewah (cawat) untuk pakaian asli laki-laki Dayak yang terbuat dari
kulit kayu dan Kaum wanita memakai sarung dan baju yang terbuat dari kulit
kayu, sedangkan pada masa sekarang orang Dayak di Kalimantan Tengah Sudah
berpakaian legkap seperti : laki-laki memakai hem dan celana dan kaum wanita
memakai sarung dan kebaya atau bagi anak muda memakai rok potongan Eropa.
2.
Zaman dulu para wanita sering menggunakan anting
yang banyak agar semakin panjangnya daun telinga semakin cantik wanita tersebut,
para lelakinya sering menggunakan tato bahwa semakin banyaknya tato ditubuh
lelaki tersebut maka ia akan terliahat gagah dan ganteng.
3.
Terkadang mereka sering menggunakan bahasa
inggris untuk komunikasi tetapi masih bersifat pasif.
4.
Menggandalkan atau menggunakan rasi bintang
untuk mengetahui apakah cocok untuk bertanam atau berladang.
3.9
Sistem Religi
Golongan
islam merupakan golongan terbesar, sedangkan agama asli dari penduduk pribumi
adalahagama Kaharingan. Sebutan kaharingan diambil dari Danum Kaharingan yang
berarti air kehidupan. Umat Kaharingan percaya bahwa lingkunan sekitarnya penuh
dengan mahluk halus dan roh-roh (ngaju ganan) yang menempati tiang
rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan belukar, air , dan
sebagainya. Ganan itu terbagi kedalam 2 golongan, yaitu
golongan roh-roh baik (ngaju sangyang nayu-nayu) dan golongan roh-roh
jahat (seperti ngaju taloh, kambe, dan sebagainya).
Selain ganan terdapat pula golongan mahluk halus yang mempunyai suatu peranan
peting dalam kehidupan orang dayak yaitu roh nenek moyang (ngaju liau).
Menurut mereka jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati meninggalkan
tubuh dan menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia sebagai liau sebelum
kembali kepada dewa tertinggi yang disebut Ranying.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang dan mahluk-mahluk halus
tersebut terwujud dalam bentuk keagamaan dan upacara-upacara yang dilakukan
seperti upacara menyambut kelahiran anak, upacara memandikan bayi untuk pertama
kalinya, upacara memotong rambut bayi, upacara mengubur, dan upacara pembakaran
mayat. Upacar pembakaran mayat pada orang ngaju menyebutnya tiwah (Ot Danum
daro Ma’anyam Ijambe ). Pada upacara itu tulang belulang (terutama
tengkoraknya) semua kaum kerabat yang telah meninggal di gali lagi dan dipindahkan
ke suatu tempat pemakaman tetap, berupa bangunan berukiran indah yang
disebut sandung.
3.10
Rumah Adat
Suku Dayak merupakan suku asli yang tinggal di Kalimantan. Suku
Dayak tersebar di pulau Kalimantan dan Malaysia memiliki budaya yang
unik, banyak Suku Dayak yang masih tinggal di pedalaman hutan Kalimantan dan
tidak sedikit juga yang bersosialisasi dan berbaur dengan pendatang di
kota-kota besar serta berpendidikan tinggi. Budaya suku dayak yang gemar
berpindah-pindah untuk mencari lahan pertanian yang subur membuat mereka tidak
hanya berpusat disatu tempat dan menjadikan mereka terpencar diberbagai tempat
yang sulit dijangkau.Akan tetapi mereka tetap memiliki jiwa yang sama dan cara
berfikir yang mirip, seperti jiwa pekerja keras, ramah, jiwa bahu-membahu dalam
kebersamaan yang terus dijaga hingga kini.Terbukti jiwa ini tetap terpancar
dari bangunan rumah mereka yang disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang, dimana
kebersamaan serta jiwa kekeluargaan masih sangat terasa.
Rumah Betang Suku Dayak tidak hanya dibangun sebagai tempat
tinggal belaka. Tetapi lebih dari itu Rumah Betang Suku Dayak memiliki fungsi
lain nilai adat yang tinggi. Rumah betang banyak ditemukan di Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Barat.Rumah Betang Suku Dayak selalu berbentuk panggung dan
panjang sesuai dengan namanya. Bentuk ini dipilih bukan tanpa alasan. Bentuk
rumah betang yang berbentuk panggung berfungsi untuk:
- Menghindari
rumah dari banjir, karena banyak Rumah Betang Suku Dayak yang di bangun di
pinggir sungai.
- Untuk
melindungi penghuninya dari binatang buas.
- Untuk
melindungi penghuninya dari musuh.
Bentuknya yang memanjang mampu menampung hingga kurang lebih
150 jiwa atau 5-30 kepala keluarga atau lebih. ini memungkinkan mereka untuk
tetap berada disatu atap, agar mereka mudah berkomunikasi dan saling melindungi
serta saling membantu dalam hal apapun seperti ekonomi, pekerjaan dan lain
sebagainya
Pada umumnya Rumah Betang Suku Dayak dibuat hulunya menghadap
timur dan hilirnya menghadap barat. Ini merupakan sebuah symbol bagi masyarakat
dayak. Hulu yang menghadap timur atau matahari terbit memiliki filosofi kerja
keras yaitu bekerja sedini mungkin. Sedangkan hilir yang menghadap barat atau
matahari terbenam memiliki filosofi, tidak akan pulang atau berhenti bekerja
sebelum matahari terbenam.
Berikut
adalah ciri-ciri spesifik Rumah Betang Suku Dayak
- Arah
hulu rumah menghadap Timur dan Hilir menghadap Barat.
- Tinggi
rumah dari tanah antara 3 (tiga) meter hingga 5 (lima) meter.
- Panjang
rumah mulai dari 30 meter hingga 150 meter, lebar sekirat 30 meter.
- Dinding
terbuat dari kayu berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang
- Ruangan
dibagi menjadi
- Sado :
pelataran merupakan jalur lalu-lalang penghuni rumah atau tempat melakukan
aktifitas seperti tempat musyawarah adat, tempat menganyam, tempat
menumbuk padi dan lain-lain.
- Padong :
yaitu ruang keluarga berdimensi antara 4×6 meter. Biasanya masing-masing
kepala keluarga memiliki satu padong yang digunakan untuk berkumpul makan,
minum, menerima tamu dan lain-lain.
- Bilik :
dipergunakan untuk tempat tidur. Bilik hanya dipisahkan dengan kelambu
saja, baik bilik suami istri, bilik anak laki-laki, maupun bilik anak
perempuan.
- Dapur :
Ruang yang terakhir adalah dapur, dalam satu rumah memiliki satu dapur
yang biasanya terletak dibelakang.
- Memiliki
1 tangga yang dinamakan hejot dan satu pintu masuk. Biasanya terdapat
sebuah patung yang dinamakan rancak yang diletakkan didekat pintu masuk,
patung itu sendiri merupakan patung persembahan bagi nenek moyang mereka.
Sebelum diletakkan di depan pintu biasanya patung atau Rancak telah
melalui sebuah proses upacara adat.
- Bagian
tengah rumah biasanya dihuni oleh tetua adat.
- Dinding
dan tiangnya memiliki ukiran yang mengandung falsafah hidup suku dayak.
- Dihalamannya
terdapat Totem atau patung pemujaan.
Wisata
Rumah Betang
Rumah betang memang sangat sulit di temukan di tempat-tempat
yang mudah dijangkau. Terlebih karena kehidupan masyarakat Suku Dayang yang
lebih suka tinggal di pinggir sungai. Walapun begitu kita masih dapat
menyaksikan beberapa Rumah Betang Suku Dayak yang masih asli maupun Rumah
Betang Suku Dayak sengaja dibangun sebagai gambaran budaya Rumah Betang Suku
Dayak yang sesungguhnya.
Anda dapat berkunjung ke beberapa daerah berikut ini untuk
dapat menyaksikan rumah betang:
Kalimantan
Tengah
- Rumah
Betang Asli Suku Dayak yang di bangun pada tahun 1870 terdapat di Desa
Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah.
Rumah ini menghadap langsung kea rah sungai Kahayan
- Desa
Tumbang Bukoi Kecamatan Mandau Talawang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah
- Desa
Sei Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Kalimantan
Barat
- Jalan
Letjen Sutoyo, Kota Pontianak, Kalimantan Barat
- Kampung
Sahapm Kec. Pahauman, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat
- Kampung
Kopar, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
- Sungai
Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat
- Desa
Ensaid panjang, Kecamatan Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat
Rumah
adat Kalimantan Tengah dinamakan rumah betang. Rumah itu panjang
bawah kolongnya digunakan untuk bertenun dan menumbuk padi dan dihuni
oleh ±20 kepala keluarga. Rumah terdiri atas 6 kamar, antara lain untuk
menyimpan alat-alat perang, kamar untuk pendidikan gadis, tempat sesajian,
tempat upacara adat dan agama, tempat penginapan dan ruang tamu. Pada kiri
kamam ujung atap dihiasi tombak sebagai penolak mara bahaya.
3.11
Busana Tradisional
3.11.1 Busana tradisional Adat Dayak
adalah
pakaian khas yang digunakan oleh Suku Dayak
disaat mengadakan upacara adat, acara perkawina dan acara lainnya. Busana tradisional
Dayak juga memiliki fungsi sebagai pemberian kasta dimana desain corak yang
berbeda atau lebih menonjol dari corak yang dikenakan pada umumnya menandakan
orang tersebut adalah keturunan bangsawan, contohnya adalah corak bergambar
harimau.
3.11.2 Busana Suku Dayak Kenyah
Suku Dayak
Kenyah Kalimantan Timur memiliki busana tradisional yang
disebut sapei sapaq untuk kaum
laki-laki dan ta'a untuk kaum perempuan, pakaian ta
a terdiri dari semacam ikat kepala yang disebut da a yang dibuat dari pandan, umumnya
yang menggunakan da a ini adalah para orang tua, baju atasannya disebut dengan
nama sapei inoq serta bawahan dari
busana tersebut berupa rok yang dikenal dengan nama ta a. Busana sapei sapaq
untuk laki-laki tidak jauh berbeda coraknya dengan busana ta a, perbedaannya
hanya pada pakaian atas saja yang dibuat berbentuk rompi ditambah dengan paduan
busana bawahan berupa cawat yang diberi nama abet kaboq yaitu semacam celana
pendek ketat, sedangkan untuk aksesoris pakaian ditambahkan dengan mandau yang diikat
di pinggang. Corak dari busana ini beragam ada yang bergambar burung enggang, harimau
ataupun tumbuh-tumbuhan dimana jika dipakaian adat itu ada gambar enggang atau
harimau berarti yang memakainya keturunan bangsawan.
Kalau hanya motif tumbuhan saja berarti orang biasa saja.
3.11.3 Busana Suku Dayak Ngaju
Suku Dayak
Ngaju merupakan sebutan bagi penduduk dayak yang mendiami wilayah Kalimantan
Tengah. Seperti Suku Dayak lainnya, Suku Dayak Ngaju ini juga memiliki
busana tradisional yang dianggap sebagai simbol peradaban masyarakat di daerah
tersebut. Untuk kaum pria Kelengkapan pakaian tradisional yang dikenakan adalah
berupa rompi, kain penutup bagian bawah sebatas lutut, ikat kepala berhiaskan
bulu-bulu enggang, kalung manik-manik dan ikat pinggang, serta tameng kayu
beserta mandau dibagian pinggang. Sementara kelengkapan yang dikenakan oleh
kaum wanita yaitu berupa baju rompi, kain (rok pendek), ikat atau penutup
kepala yang dihiasi bulu-bulu enggang, kalung manik-manik, ikat pinggang serta gelang
tangan. Bahan-bahan pembuatan busana tersebut menggunakan kulit kayu siren atau
kayu nyamu dengan dibubuhi warna dan corak hias yang diilhami oleh keyakinan
dan mitologi yang berkembang di masyarakat untuk mempercantik busana mereka.
Selain dari kulit kayu suku Dayak Ngaju juga membuat busana dari serat alam
yang disebut dengan busana adat kain tenun halus.
3.11.4 Busana Suku Kutai
Busana
Suku Kutai disebut dengan
nama Kustin. Pakaian ini hanya dipakai
oleh suku Kutai dari golongan menengah ke atas dimana digunakan untuk upacara
pernikahan pada jaman kerajaan Kutai
Kartanegara. Istilah Kustin sendiri berasal dari kata kostum yang berarti
pakaian kebesaran suku Kutai. Pakaian Adat Kutai ini terbuat dari bahan beludru
berwarna hitam, memiliki lengan yang panjang dan berkerah tinggi dengan ujung
lengan, kerah serta bagian dada berhias pasmen. Untuk kaum pria pakaian ini
dipadukan dengan celana panjang yang dibagian luarnya dipasang dodot rambu dan tutup kepala
bundar yang dinamakan setorong berhiaskan lambang yang
berwujud wapen. sedangkan untuk dikenakan
oleh kaum wanita ada tambahan berupa sanggul yang hampir sama dengan sanggul
aksesoris Jawa,
serta dibagian puncak belakang ditambahkan kelibun berwarna kuning yang
terbuat dari bahan sutera.
3.11.5 Busana Bulang Kuurung dan Bulang Burai King
Selain
busana adat diatas, ada beberapa busana adat Dayak yang belum sering terekspos
yaitu Bulang kuurung dan Bulang Burai king. Bulan
kuurung terbagi-bagi menjadi pakaian tanpa lengan, dokot tangan (pakaian dengan lengan
pendek) serta lengke (baju dengan lengan
panjang). Biasanya pakaian seperti ini digunakan oleh para dukun. Sedangkan
untuk Bulung Burai King adalah jenis busana adat Dayak yang paling terkenal,
biasanya digunakan pada saat upacara adat. Ciri dari busana ini adalah dihiasi
dengan manik-manik dan bulu burung yang dibentuk rapi sehingga membuatnya
terlihat rapi, indah dan menarik.
BAB IV
PENUTUP
4.
1 Kesimpulan
Sebagian masyarakat suku dayak pada dasarnya masih sangat
menghargai kebudayaan tersebut dan juga sangat menghormati leluhur mereka,
karena dalam kehidupan mereka sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang
ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka
beranggapan bahwa bila ini tidak dijalankan maka aka nada bencana bagi keluarga
mereka dan juga orang yang ada disekitar mereka.
4.
2 Saran
Dalam penyusunan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dari segi
penulisan maupun dari segi penyusunan kalimat dan dari segi isi juga masih
perlu ditambahkan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para
pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat
membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar